Selasa, 26 Juli 2011

Cerpen Pertama

Dia, do’a yang baik… 
karya : Tia Widyastuti
Matahari telah selesai mengerjakan tugasnya hari ini, kicau burung seakan mengiringi kepulangannya dan bersiap menyambut dewi malam yang hadir untuk menggantikan sang mentari. Hembusan angin, deburan ombak, konon katanya mampu melepaskan semua penat dan sesak yang bergelora didalam dada. Itulah yang kini sedang dinikmati oleh Alia, wanita manis yang selama 5 tahun belakangan ini selalu menghabiskan sepertiga waktu istirahatnya untuk duduk di atas sebuah batu karang di dekat rumahnya, dan menyaksikan pergantian tugas dari dewi-dewi hari yang selalu menakjubkan mata itu.
Apa yang sebenarnya aku pikirkan?
Ya, selalu dengan pertanyaan yang sama. Alia hanya merasa pikirannya penat, dadanya sesak, selalu setiap ia berhasil mencapai satu persatu impian masa mudanya. Seperti hari ini, ia berhasil membuka lagi cabang usaha coffeeshop kecilnya di Bandung. Alia bukan wanita biasa, di usianya yang baru menginjak 26 tahun, ia berhasil mengembangkan usaha coffeeshop yang dirintisnya semenjak ia tamat SMA dengan sukses. Kini, cabang usaha nya itu sudah menyebar dimana-mana di Indonesia. Impiannya sejak kecil. Ya, Alia kecil selalu bermimpi untuk memiliki banyak sekali resto mini. Kegemarannya membuat makanan camilan dan kudapan, menjadi dasar keyakinan Alia untuk merealisasikan keinginannya ini. Tapi, hingga kini, saat usaha dari impiannya itu sudah menjadi kenyataan, Alia justru merasa hampa. Kesuksesannya ini tidak memberikan kepuasan dalam batinnya.


Apa yang sebenarnya aku kejar?
“Neng, makan malam sudah siap..”, lamunan Alia buyar. Gadis itu menoleh, nampak Inah, wanita tua yang sudah 10 tahun ini menemani Alia kemanapun gadis itu pergi. Tersenyum.
“Iya, bu. Sebentar lagi, Alia masih ingin duduk di sini”, Alia berkata lembut.
“Tapi ini sudah jam setengah tujuh, Neng. Neng Alia kan belum sholat magrib, nanti keburu isya’, Non…”
“Astaghfirullahaladzim, saya lupa, bu. Iya, terima kasih sudah mengingatkan saya, Bu..”, Bu Inah tersenyum. Alia beranjak dari duduknya dan bergegas menuju rumahnya. Menunaikan sholat magrib.
Malam itu Alia menghabiskan sisa harinya dengan bercerita banyak tentang aktivitasnya hari ini bersama Bu Inah. Wanita setengah baya itu sudah dianggap Alia sebagai ibu nya, lebih dari sekedar orang yang mengambil alih seluruh pekerjaan rumahnya. Alia bertemu Bu Inah ketika ia memutuskan untuk pergi dari panti-asuhan yang membesarkannya. Semenjak saat itu, Alia yang memang sudah memiliki tabungan sendiri dari hasil kerjanya selama SMA, tinggal bersama Bu Inah dirumah kontrakan kecil yang Alia sewa. Bu Inah yang selalu mendukung semua usaha yang dirintis Alia, memberikan do’a setiap Alia akan memulai aktivitasnya, mendengarkan setiap keluh-kesah yang Alia berikan, dan mengusap rambutnya ketika Alia membutuhkan seseorang yang bias menenangkannya, menjadikan Alia merasa Bu Inah lebih dari sekedar seseorang yang menemaninya, tapi Bu Inah adalah ibu angkatnya.
xxx
“Alia, bangun, nak. Kamu harus sholat subuh…”, Bu Inah menepuk pelan pipi Alia yang masih tertidur pulas. Alia perlahan membuka matanya.
“Sudah pagi ya, bu?”, Bu Inah tersenyum lalu mengangguk.
“Kamu hari ini mau ke perusahaan itu kan nganterin kue? Jadi?”, Alia mengangguk, “Ya udah, kamu bangun gih. Trus mandi dan sarapan, ibu sudah membuatkan makanan untukmu…”
“Iya, bu. Terima kasih..”, Bu Inah tersenyum lalu meninggalkan Alia yang beranjak menuju ke kamar mandi.
Bu Inah sudah menunggu kedatangan Alia di meja makan. Gadis belia yang baru lulus SMA itu sudah berpakaian rapi dan bersiap sarapan.
“Bu, hari ini saya mulai memperkenalkan camilan-camilan ini ke area perusahaan besar. Do’akan Alia, biar pihak perusahaan itu puas dengan camilan buatan Alia, jadi mereka bisa meneruskan pesanannya ke Alia…”
“Iya, nak. Ibu selalu mendo’akan Alia. Semoga usaha lanjutanmu ini sukses…”
“Amiinn…”, Alia tersenyum, “Nanti Alia pulang agak sorean, bu. Sekalian nawarin daftar kue ke perusahaan-perusahaan lain…”
“Makan siang dirumah kan?”
“Iya, bu. Tapi, ibu tidak usah menunggu Alia. Kalau ibu mau makan lebih dahulu, tidak apa-apa. Alia takut, nanti ibu sakit kalau menunggu Alia pulang…”, Bu Inah tersenyum lalu mengangguk.
Hari itu, hari pertama Alia meningkatkan usahanya. Selain membuka warung kecil-kecilan didepan rumahnya, Alia mulai menawarkan kue-kue buatannya ke perusahaan-perusahaan besar. Langkah kedua yang sukses. Banyak perusahaan yang merasa puas dengan kue buatan Alia, mereka pun menjadi pelanggan tetap kue camilan Alia.
Sore itu, sepulangnya dari mengantarkan daftar kue camilan dan kudapan ke beberapa perusahaan besar, Alia pulang dengan hati yang riang.
“Assalamu’alaikum…”, Alia membuka pintu rumahnya. Ia kemudian membereskan semua peralatannya dan mengganti pakaian.
“Sudah pulang, nak?”, Bu Inah menyambutnya di meja makan. Alia mengangguk dan tersenyum, “Ayo, makan. Ibu sudah menunggumu, untuk makan dan mendengarkan ceritamu hari ini. Ibu lihat, sepertinya Alia sedang bahagia sekali…”, Alia duduk disamping Bu Inah.
“Ibu belum makan dan menunggu Alia?”, Bu Inah mengangguk dan tersenyum, “Aduh ibu, nanti kalau ibu sakit bagaimana…”, keluh Alia hanya sampai disana. Setiap ia pulang telat baik siang ataupun malam, Bu Inah akan selalu menyambutnya dengan hangat dan menemaninya makan. Tak pernah sekalipun Bu Inah makan lebih dahulu. Seperti hari itu, ia menunggu hingga Alia pulang. Baginya, melihat gadis itu makan dengan lahap sambil bercerita, itu akan mengembalikan semangatnya untuk makan.
xxx
“Bu Alia, ini laporan dari cabang kita yang ada di Bengkulu…”, Rina, asisten pribadi Alia menyerahkan berkas laporan yang baru diterimanya.
“Oh, iya, Rina. Terima kasih. Ini akan saya pelajari terlebih dahulu. Apakah ada laporan masalah dari cabang lain?”
“Sejauh ini tidak ada, bu. Mereka bilang baik-baik saja..”
“Baiklah kalau begitu, saya hanya tidak ingin ada masalah lagi seperti dua tahun yang lalu..”
“Iya, bu. Baiklah, saya permisi kembali ke ruangan saya, bu”
“Ya, kembali lah bekerja. Terima kasih, Rina..”
“Sama-sama, Bu..”, Ya. Alia adalah pemimpin yang baik, disegani para karyawannya, sehingga karyawan yang ditugaskan untuk mengurus cabang-cabangnya pun tidak mau mengkhianati Alia. Mereka terlalu segan kepada pemimpin mereka itu. Wanita muda yang baik hati, pemerhati para karyawannya dan tidak sombong. Lalu apa masalah yang melanda Alia dua tahun yang lalu itu?
Dua tahun lalu, saat usaha Alia baru saja membuka cabang baru di Bengkulu, ada pesaing yang berbuat jahat pada Alia. Coffeeshop Alia difitnah yang bukan-bukan. Alia benar-benar terpuruk saat itu. Usahanya menurun drastis, tidak hanya yang ada di Bengkulu. Karena Alia sudah dikenal diseluruh Indonesia, maka kabar buruk itupun segera ditampilkan diberbagai stasiun televisi. Beruntung, Alia bisa segera memperbaiki citranya. Tentu saja berkat bantuan orang-orang kepercayaannya dan Bu Inah. Bu Inah yang selalu mensupport Alia, membuatnya tidak terjatuh terlalu dalam. Hingga akhirnya, kepercayaan masyarakat bisa diambil lagi oleh Alia.
Bu Inah adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku…
Alia membantin sejenak lalu meraih gagang telepon diatas meja kerjanya. Terdengar nada sambung. Tak ada jawaban. Bu Inah kemana? Lama Alia tunggu, Bu Inah tak kunjung menjawab. Alia pun memutuskan untuk pulang.
“Assalamu’alaikum…”, Alia masuk ke rumahnya. Tak ada sahutan dari Bu Inah. Alia kemudian menuju kamar Bu Inah. Tak ada orang. Sesaat Alia hendak berbalik menutup pintu, tapi matanya menangkap lembaran yang ada diatas tempat tidur Bu Inah. Apa itu? Foto-foto? Alia mendekatinya. Ia meraih beberapa lembar foto itu. Dilihatnya satu persatu. Lalu, Alia tersentak. Matanya menatap lurus pada foto yang dipegangnya. Foto itu, foto seorang bayi. Kemudian, foto selanjutnya adalah foto bayi itu dengan kedua orangtuanya. Bayi itu. Ia pernah melihatnya…
xxx
“Ini, foto siapa, kak?”, Alia kecil menunjuk salah satu foto yang dipegang oleh Kak Anis, kakak asuhnya dipanti asuhan.
“Ini?”, Alia kecil mengangguk, “Ini foto Alia. Sehari setelah Bu Nanni membawa Alia kesini…”
“Oh ya?”, tanya Alia dengan wajah mencari tahu. Kak Anis mengangguk yakin.
“Lucu ya?”, Alia kecil mengangguk lalu tersenyum, “Alia mau simpan? Kakak punya satu lagi buat Alia…”
“Benar??”, Kak Anis tersenyum, “Iya, iya, Alia mau, kak. Alia mau…”, Kak Anis tertawa melihat semangat Alia. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan mengambil selembar foto dari lemarinya. Sejak saat itu, Alia menyimpan foto itu kemanapun ia pergi. Ia berharap, semoga foto itu mampu membantunya untuk menemukan keluarga kandungnya. Lalu sekarang, Alia berdiri dengan memegang foto yang sama. Meskipun suasanya yang berbeda, tapi bayi itu, foto bayi yang sama dengan yang diberikan oleh Kak Anis. Ia sangat yakin. Ia masih menyimpan foto dari Kak Anis.
Siapa sebenarnya Bu Inah? Kenapa ia memiliki foto masa kecilnya? Siapa pasangan muda yang ada disebelahku itu? Apakah… apakah???
Perlahan air mata Alia mengalir. Apakah ini mungkin? Mungkinkah Bu Inah adalah ibu kandungnya?Alia kemudian bergegas meletakkan kembali foto itu keatas tempat tidur Bu Inah. Lalu ia pergi ke pantai, duduk dikarang kesukaannya.
Ada apa ini, Tuhan? Jelaskan padaku tentang semua ini? Siapa Bu Inah? Siapa aku?
Puas Alia menangis sore itu, hingga matahari mulai terbenam, Alia masih terus mengalirkan air matanya.
“Nak…”, Alia terkejut dengan sapaan seseorang. Ia kontan menoleh. Ada Bu Inah disana, “Alia kenapa? Kenapa menangis?”, Bu Inah langsung merasa cemas saat melihat Alia menangis. “Kamu ada masalah, nak? Ma’af, tadi ibu sedang ada urusan di masjid. Kenapa Alia? Cerita sama ibu…”, Alia menghapus air matanya. Tangannya menarik Bu Inah untuk duduk disebelahnya.
“Ibu, apakah ibu kenal dengan anak ini?”, Alia meraih sebuah foto dari kantongnya dan menyerahkannya pada Bu Inah.
“Hha, k-kamu d-dapat dari mana foto ini, nak? Ini punya ibu…”, Alia tersenyum. Matanya menatap mata Bu Inah. Wanita itu kemudian menatap bayi yang ada difoto itu, “Ini… ini anak ibu, nak”, Alia merasakan aliran darahnya berdesir. Ia menutup mata untuk menahan gejolak dalam dadanya, “Dia… dia hilang dibawa perampok…”
“Perampok?”
“Ya, perampok. Dulu, 25 tahun yang lalu, rumah ibu dirampok. Mereka membawa anak ibu, Lisya, dan membunuh suami ibu…”, Alia menggigit bibirnya. Nama aslinya Lisya? Apakah Ayahnya meninggal? Ayah kandungnya?, “Ibu kehilangan suami ibu saat itu…”
“Lisya?”, suara Alia bergetar.
“Lisya hilang, ibu tak tahu ia dimana. Hingga kini ibu terus mencarinya, hati ibu berkata ia masih hidup, nak…”, Ibu Inah menatap Alia. Ia belum menyadari perubahan sikap Alia. Tubuh Alia bergetar. “Kamu tahu, kalau Lisya ada, ia sudah seperti kamu, seumuran sama kamu. Saat ibu bertemu kamu, entah mengapa hati ibu berdesir, ibu benar merasa dekat denganmu, dan ibu ngerasa sayang sekali sama kamu…”, Alia menarik nafasnya. Diraihnya tangan Bu Inah lalu diciumnya lama. Alia menangis saat itu juga.
“Ibu… Alia minta ma’af…”
“Ma’af? Untuk apa, nak?”, Alia mengangkat wajahnya. Ia mengambil foto itu lagi.
“Ini… sebenarnya ini milik Alia”, Bu Inah tersentak, “Foto ini pemberian Kak Anis, kakak pengasuh Alia dip anti asuhan. Dia bilang, foto ini diambil 1 hari setelah Alia tiba disana. Bu Nanni yang menemukan Alia…”, Bu Inah menatap wajah Alia dalam. Wajah itu, wajah yang membuatnya tenang selama 10 tahun ini, wajah yang menemani hari-harinya, wajah gadis yang disayanginya seperti anak nya sendiri, wajah gadis yang selalu ditunggunya saat ia pulang, wajah gadis yang selalu dido’akan dalam setiap sujudnya, wajah gadis yang selalu ia rindukan, wajah yang tak ingin dilihatnya bersedih. Ternyata, wajah itu adalah wajah anak kandungnya?
“K-Kamu… kamu Lisya? Kamu Lisya anak bunda? Lisya ku sayang?”, Alia segera berhambur ke pelukan ibu nya. Keduanya langsung mengurai air mata bahagia.
“Bunda… bunda yang selalu Alia cari, Alia rindukan. Ternyata, bunda yang selama ini ada untuk Alia, ternyata bunda yang selama ini Alia tunggu untuk Alia persembahkan kesuksesan Alia. Bunda…”, Alia menangis dipelukan ibunya.
“Jangan pernah pergi lagi, nak. Lisya ku sayang. Bunda sayang Lisya…”, Alia mengangguk lalu memeluk ibunya erat.
Semenjak saat itu, Alia (Lisya, red.) tak pernah lagi merasa hampa dalam hidupnya. Orang yang selama ini ada untuknya, mendo’akannya, mensupport­nya, dan merindukannya. Orang yang dianggapnya sebagai ibu, ternyata adalah ibu kandungnya. Alia sangat merasa bahagia.
Terima kasih, Ya Allah. Ini adalah kenyataan yang sangat membahagiakan untukku. Terima kasih, terima kasih karena mempertemukan aku dengan Bundaku. Terima kasih.

SELESAI.

1 komentar:

  1. wee, kok panajng kecik k bwah cem ntu tuk nlis entri-nyo??
    diatur lgi di template-nya,

    BalasHapus